Senin, 21 November 2011

Idung Lo Juga Pesek Bego !

         Siapa sih yang gak bangga ketika punya gadget yang lagi jadi trending topic ? Gak ada kan? Begitu pun yang aku rasakan ketika aku masih duduk di kelas 4 SD lebih tepatnya ketika tahun 2005. Ketika itu aku masih ingusan, gendut, gak kalap, jelek, pendek ( payahnya masih kebawa sampai sekarang) aku satu-satunya yang punya MP4 di sekolahku. Aku bawa MP4 itu kemana-mana, dengan gaya selengean aku pasang headset MP4 tiap ke sekolah walaupun ketika ditanya ‘Dengerin lagu apa?’ Aku cuman bisa nyengir, karena MP4 itu sama sekali gak ada lagunya. 

Coba bandingkan dengan jaman sekarang. Waktu itu tahun 2009 aku masih kelas 2 SMP, aku keluar dari kelas les bahasa Inggris yang tiap dua kali seminggu aku apelin. Jadi di tempat les itu ada kelas ‘kidergarten’, yang isinya cuman anak-anak TK umur 4-5 tahunan yang menurutku terlalu dini buat di lesin bahasa Inggris (Kecuali karena nyokapnya pingin anaknya jadi TKI di Amerika ketika dia umur 15 tahun). Ketika aku keluar kelas, bayi-bayi 5 tahunan itu juga keluar kelas. Dan apa kalian tahu sodara-sodara, apa yang bergelantung di leher bayi-bayi itu? Let me explain, yang bergelantung di leher mereka adalah gadget bernama blackberry ! Aku heran, mungkin nyokap mereka gak bisa membedakan antara blackberry dengan kempongan. Aku pun nguntit mereka sampai pintu depan, dengan mata kaki ku ini aku melihat dengan jelas apa fungsi utama gadget itu bagi mereka. Fungsi utamanya adalah, untuk di puter-puter dan di pontang-panting dengan tali yang emang ada di blackberry mereka. Dan ketika itu juga aku langsung nunduk, berdoa ke Tuhan “Ya Tuhan, semoga talinya putus dan gadgetnya kelempar terus masuk ke kantong jaketku. Amin”. Tapi Tuhan tidak mengabulkan. 
Mataku tetap memperhatikan mereka yang sedang menggunakan fungsi utama blackberry (baca: dipontang-panting) hingga mereka dijemput. Dan tinggalah aku dengan dua anak SD yang lagi ngegosip. Dengan alasan aku gak ada kerjaan, aku memutuskan untuk nguping apa yang anak SD ini omongin. Dari fisiknya, aku rasa mereka ini masih kelas 2 SD. Inilah perbincangan mereka :
A : Eh eh, kamu tau gak sih?
B : Apa apa apa apa?
A : Itu tuh, temen sekelas kita. Icha. Dia tuh ya, udah BBM-an, twitteran, bawa BB kemana-mana, tapi idungnya PESEK !
B : Ih masak sih? Idih ya, jijik. Gak gaul banget tauk.
A : Ho-oh !
Coba kalian bayangkan sodara-sodara! Apa hubunganya bbm-an, twitteran, bawa bb kemana-mana sama idung pesek?! Bayangkan! Satu hal yang spontan aku lakukan ketika itu adalah melihat idung mereka berdua. Dan apa yang terjadi? Idung mereka mancung ke dalem. Satu hal yang pingin aku lakukan ketika itu adalah, berdiri di depan mereka, mengacung-acungkan jari seraya berkata “IDUNG LO JUGA PESEK, BEGOK !” Tapi aku memutuskan untuk tidak melakukan itu. Kenapa? Karena aku takut. Aku takut ketika aku bilang kayak gitu, pas nyokapnya dateng. Aku gak takut di omelin, aku gak takut disembur. Yang aku takutkan hanya satu hal, satu hal yang aku yakin 100% pasti terjadi.
Ketika nyokap si bocah datang, pasti si bocah akan ngadu ke nyokapnya seperti ini 
Bocah                          : Mama, mama !
Nyokap si bocah         : Iya, ada apa anakku?
Bocah                          : Itu mama, orang idiot itu ngatain idung aku pesek mama !
Si bocah nunjuk ke arah ku yang lagi berdiri pasang muka idiot. Dan nyokap si bocah pasti akan bilang seperti ini ke aku,
“IDUNG LO JUGA PESEK, BEGOK !”
Fine, aku tau kalo idung aku pesek. Maka dari itu, gak perlu dipertegas. Dan karena itu aku memutuskan untuk diam konsentrasi mendengarkan dua bocah ini ngegosip tentang temanya yang bernama Icha. Dua bocah yang mungkin baru 8 tahun ada di bumi ini, ngegosip dengan polosnya, tanpa ada yang ditutup-tutupin. Aku pun dijemput, tapi aku masih bisa melihat dengan jelas dari kaca mobil bahwa mereka masih asyik ngegosip. Hmm, apa dulu ketika aku seumuran mereka kayak gitu ya? Mungkin. Kepolosan, kejujuran dan keluguan dari seorang bocahlah yang harusnya masih ada dalam diri remaja 16 tahun seperti aku dan teman-temanku. Sayangnya, jarang aku temukan 3 sifat itu dalam personality generasi sebayaku. 
Sepanjang perjalanan pulang, yang muter-muter di dalam otakku yang cuman berkapasitas sebelas-duabelas sama disket ini adalah pertama, gak semua orang yang idungnya pesek itu jelek. Kedua, apa masih ada orang-orang yang sepantaran sama aku tapi kejujuran dalam bertuturnya masih apa adanya kayak anak-anak. 
Aku pingin bahas yang pertama, gak semua orang yang idungnya pesek itu jelek. Butuh contoh? Lihatlah aku (maaf, telah memfitnah diri sendiri). Mau gimanapun bentuknya toh ini juga idung kita sendiri. Dan aku yakin, hampir 90% dari orang-orang yang idungnya pesek, pasti mereka membela diri dengan berkata “Biarin idung pesek, yang penting bisa napas.” Kalo aku pribadi sebagai manusia berhidung pesek sih gak gitu, aku biasanya bilang “Biarin idung pesek, yang penting bisa ngupil.”
Pas aku masih kelas 3 SMP, aku sama Naufal garap tugas geografi di hall bawah sekolah.  Kita bener-bener butuh bantuan internet demi ngelarin tugas itu. Akhirnya aku sama Naufal memanfaatkan sinyal wi-fi sekolahan. Sebelumnya aku ceritain sedikit tentang sohib yang satu ini, namanya Naufal dia adalah cowok jakung yang punya hidung setinggi pelosotan anak TK. Saking tingginya, idung itu bisa dipake buat naik ke genteng.
“Mak, ini kenapa sinyalnya gak nongol-nongol sih?” kata Naufal yang masih ngutak-ngatik laptop.
“Tau noh,” aku tak acuh.
“Yee, ditanyain bener-bener, malah,”
“Oh, aku tau penyebabnya !” ujarku dengan wajah penuh ke sotoy an.
“Kenapa?”
“Itu sinyalnya kehadang idung mu kali ya,”
“Sialan.”
Suatu ketika jika kalian(manusia berhidung pesek) menghadapi orang-orang yang asma, dan di situ banyak manusia berhidung macung. Maka, untuk memperbesar hati katakanlah “Yang idungnya mancung pergi dong, oksigen yang lu serap banyak tauk. Kasian nih yang asma tambah sesek.” Atau beri mereka persyaratan ; bernafaslah dengan satu lubang hidung.
Namun, hai kalian manusia berhidung pesek bersiaplah jika ada yang bilang “Lo habis kecelakaan ya? Gak pake helm SNI ya? Pantesan idung lo habis kemakan aspal.” Kemudian persiapkan mental juga jika manusia berhidung mancung berkata “Idung sepesek itu kalo lo ngupil gimana? Pake tusuk gigi?”
Kalo aku pribadi yang udah belasan tahun bernafas pakai hidung pesek sama sekali gak keberatan. Aku masih bisa hirup oksigen, aku masih bisa ngupil aku masih bisa pilek. Yang aku heran adalah, orang tua mas dan adikku itu idungnya gak ada yang pesek, lalu aku siapa? Manusia pesek yang tertukar, mungkin. Toh ketika ditanya “Pesek apa bagusnya sih, artis aja gak ada yang pesek. Coba siapa artis yang pesek?” Aku akan dengan lantang menjawab “Sule, Budi Anduk, Tessi, Adul dan sebagainya.” Mereka berhidung pesek tapi juga tetep bisa tenar, jadi artis. So, apa salahnya sih punya idung pesek?
Ohya, masih ada satu hal yang aku pingin bahas; apa masih ada orang-orang yang sepantaran sama aku tapi kejujuran dalam bertuturnya masih apa adanya kayak anak-anak. Aku punya banyak temen, dari yang alim sampe yang agak hardcore-an. Dari berbagai macam temen yang aku punya itu, aku sama sekali gak nemuin karakter kepolosan dan kejujuran yang bener-bener murni seperti anak-anak, dalam diri mereka. Ya, mungkin emang semua orang punya kekurangan dan kelebihan. Tapi apa salahnya sih numbuhin sifat yang gak jelek itu, sifat yang jujur, yang murni bener-bener jujur. Yang kalo cerita itu objektif, gak dibumbu-bumbuin apapun, yang gak dikurangin sedikitpun, yang gak sembarang nge judge orang tanpa mengenal gimana orang itu.
Yang aku temuin malah, sifat nge-kanak-kanak. Yang aku maksud disini bukan sifat yang gak dewasa loh. Tapi mereka itu seperti bertindak kayak balita supaya terlihat imut dan nggemesin. Aku jadi inget sama temenku pas SMP. Namanya, ah gak baik kalo terlalu frontal. Jadi dia itu kalo bicara selalu menekan pita suaranya, supaya suaranya itu jadi kecil. Bukanya keliatan imut dan nggemesin, tapi malah kayak suara banci minta tolong karena kegencet bus kopata ! Jujur ya, tiap aku denger dia ngomong dengan suara kayak gitu pasti aku langsung bilang sama temen yang lagi disampingku “Pergi yuk, aku lebih mending denger suara kentut daripada suara kayak gini.”
Aku ngomong kayak gini bukan berarti aku sempurna, aku tetap harus banyak belajar dari hal-hal yang ‘kurang’ dari temen-temenku. Satu hal yang baru aku sadar adalah kekurangan orang lain itu sangat berguna buat cerminan diri, buat menata satu persatu pribadi diri. Dan suatu ketika seorang teman menyimpulkan ‘Jadi, bisa dibilang kekurangan orang itu juga kelebihan mereka ya diel?’ Yeah, kamu bener! *peluk*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar