Baiklah, post ini gue tulis ketika semua anak-anak gaul Jogja lagi bahagia nontonin RAN di spotarium UMY. Sejujurnya gue udah cukup bahagia dengan minum susu sapi murni yang dijual mas-mas pake jaket kulit item menceling yang selalu teriak "SHUSHUUUU." di depan rumah. Atau kalimat sebelum ini adalah alasan nggak berbobot dari "Pengen nonton RAN, tapi sama siapa. Semua temen-temen begahol kesana bareng kekasih masing-masing."
Selayaknya berlian langka, gue nggak pernah dibolehin keluar malam tanpa orang tua dengan alasan 'main', atau kejadian nonton PAF terjadi lagi; nonton bareng ortu sedangkan tribun sebelah anak SMA semua.
Gue jadi nostalgia beberapa minggu lalu, tepatnya awal-awal 2013. Kesibukan ini itu yang bikin gue hampir 4x seminggu ke mekdi; buat meeting tanpa kena biaya parkir dan nggak masalah kalau nggak beli makan.
Saking selo-nya, jam 7 pagi gue udah di mekdi untuk ngomongin suatu agenda, baru ada Tyo, sendirian sambil makan pancake plus kopi mekdi (yang sampe sekarang belum gue temuin kedasyatan rasa yang menandingi TOP Koffie, BONGKARRR!)
"Yel, aku tinggal bentar ya, mau nganterin sarapan ke Sita. Bentar."
Baru aja gue naruh pantat, Tyo langsung beranjak pesen sarapan dan menghilang dengan langkah seribu mengantarkan sarapan untuk orang tersayang.
Gue diam, mantengin pancake dan kopi yang Tyo tinggalkan di atas meja, masih utuh. Nggak. Bisa. Nahan. Hasrat. Buat. Nggak. Comot. Oke, gue ngelantur.
Saat itu, yang ada di pikiran gue adalah "The one we pay attention with, the one we make as the priority."
Menjadi prioritas individu lain adalah bentuk apresiatif yang nggak bisa dihargain, sebuah hal yang tanpa disadari akan menjadi hal yang kita rindukan ketika kita tenggelam tertutup prioritas lain yang baru.
Dan menjadi prioritas tersier rasanya kayak kena kenalpot motor panas. Awalnya nggak kerasa, sengatan yang tiba-tiba aja. Tapi akan bengkak, melepuh bahkan membekas untuk jangka waktu yang lama. Bekasnya kadang nggak bisa menghilang, ada yang kecil ada yang segede samudera pasific di betis, kecuali yang kena kenalpotnya di pipi; unforgettable kissing ever.
Tapi sebuah prioritas nggak akan pernah bisa disalahkan, ini harga mati kalau kata gue.
Lo mau beli baju, tapi ada prioritas lain, buku fisika karena lusa ulangan misalnya. Lo akan memprioritaskan buku fisika, karena itu lebih mendesak. Konsekuensinya lo nggak jadi beli baju baru. Untuk saat itu lo lebih peduli sama buku fisika ketimbang baju baru.
Karena prioritas adalah keputusan paling bijak.
Menjadi prioritas tersier bukan hal mudah untuk diterabas buat gue. Kadang menjadi prioritas paling akhir terasa seperti "The most unimportant thing to be done. So just do it later."
Seperti malam kemarin gue bilang ke Ibu "Reportase aku nggak dimuat. Sedih."
"Yaudah, lain waktu." jawabnya santai.
Se-sedih apapun gue ketika itu nggak akan ditanggapi sebagai prioritas utama sama Ibu, karena dia punya prioritas lain yang harus diselesaikan.
Kebijakan paling bijak dan tidak bisa disalahkan, prioritas.
Cuman membran tipis yang membedakan prioritas primer dan tersier. Kemudian pada akhirnya gue ada di prioritas tersier. Seperti mengagumi diam-diam yang hanya menjadikan gue sebagai hal tersier yang "Just do it later."
Selamat malam orang-orang prioritas tersier.
Dari; ketua sekte prioritas tersier.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar