Akan ada dua hal yang muncul dalam benak kita saat ungkapan tersebut telah terpatri dalam diri.
Saya mulai dari hal yang paling buruk; rendah diri.
Iya. Rendah diri, bukan rendah hati. Tapi rendah diri atau kasarnya, minder.
Akui, sudah berapa besar ratio umur kita yang kita lakukan untuk terus melihat keatas? Mungkin 17 tahun umur saya, 15 tahun saya habiskan untuk minder, tidak bersyukur dan terpaku untuk hanya mengagumi kelebihan orang lain.
"Kenapa saya tidak diberi kecerdasan yang luar biasa yang selalu saja juara kelas?"
"Kenapa saya tidak diberi anugerah bernyanyi seperti mereka yang dikagum diangung-agungkan, saya juga ingin."
"Kenapa merk baju saya hanya ini ini saya, kenapa saya tidak bisa berbelanja harian di mall setaraf dengan grand indonesia?"
"Kenapa liburan saya hanya dihabiskan di dalam negeri, tidak seperti keluarga yang lain bisa kemana saja bolak balik kantor imigrasi karena paspornya penuh sesak cap cap imigrasi luar negeri?"
Dan terkubur dalam kekufuran yang tidak akan habis.
Menggerogoti diri sendiri tanpa ada usaha.
Berapa besar ratio bangsa kita yang merasa tertinggal melihat bangsa lain?
Tidak banyak orang yang sudah saya kenali dan hampir semua dari teman teman saya tersebut, sedarah tanah air dengan diri saya dan semua (termasuk saya) menjatuhkan diri dalam keterpurukan bangsa, iya ikut jatuh bukannya menopang. Bahkan belasan tahun hidup di negara yang sudah "merdeka" selama 68 tahun ini, kita sama sekali tidak mengindahkan apa arti merdeka. Selalu saja mengagumi bangsa lain, tanpa ada aksi memperbaiki diri dengan belajar dari mereka.
68 Tahun. Bukan waktu yang belia untuk tidak maju dan merasakan arti merdeka yang sesungguhnya. Kadang saya berpikir "Mau jadi apa negara ini kalau generasi mudanya sudah merencanakan untuk berpindah kewarganegaraan saat sudah dewasa, karena sudah sumpek dengan segala kemlaratan yang ada."
Kita terlalu banyak mendongak, mengagumi rumput tetangga hingga lupa menyiram rumput di halaman sendiri.
Mari kita belajar dari tetangga terdekat; Singapura.
Mungkin ada benarnya "Tua itu pasti, dewasa pilihan."
Singapura benar benar lepas dan berdiri sendiri pada tahun 1965. 48 Tahun, iya baru 48 tahun, ia memang muda tetapi memilih untuk menjadi dewasa.
Indonesia? Mungkin ia masih ingin menjadi anak anak diusia 68 tahunnya.
Saya hanya takut bangsa kita terus menyesal dan menyesal. Barusan saya diingatkan oleh seorang teman atas opininya.
Ingin rasanya saya hadir di Departemen Pertambangan RI pada tanggal 7 April 1967 (Indonesia masih berusia 21 tahun) dan mengurungkan niat Ir. Slamet Bratanata (Menteri Pertambangan) untuk menandatangani Kontrak Kerjasama dengan Freeport Sulphur beserta koleganya, mencegah para insinyur asing mengeksploitasi ribuan hektar lahan terhampar luas di pegunungan Jaya Wijaya yang terpendam jutaan ton tembaga dan emas di dalamnya seraya menunggu Indonesia melahirkan segudang sarjana, insinyur, serta doktor di kemudian hari. - Idham Raharfian
Hal kedua, simpel saja.
Energy and Integration.
Terserah bangsa kita akan memilih yang mana. Poin pertama yang memang mudah dilakukan namun efeknya runyam, serunyam opini saya yang mungkin berbelit belit.
Atau poin kedua, simpel namun dalam.
Maju Indonesiaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar